Hai hai, apa kabar semuanya? Semoga sehat-sehat selalu ya. Apalagi di masa pandemi gini, semoga kita semua selalu dilimpahkan kesehatan, dan dijauhkan dari berbagai penyakit. Amin.
Mau cerita, nih. Di akhir Desember 2020 lalu, tepatnya di tanggal 21 Desember, saya dirawat di rumah sakit karena kena demam berdarah. Setelah 9 bulan lebih menghindari keluar rumah, akhirnya saya harus keluar rumah juga, dan ke… rumah sakit. 😂
Gimana rasanya dirawat saat pandemi? Parno, riweuh, sedih…, pastinya. Tapi Alhamdulillah semua itu udah berlalu sekarang.
Gimana ceritanya saya bisa kena DBD? Saya juga nggak tahu. Namanya musim pancaroba gini, memang lagi banyak penyakit sepertinya ya. Saya juga setelah lapor RT, ternyata ada 3 orang lainnya di RT saya yang kena DBD dan harus dirawat di rumah sakit. Huhuhu.
Ceritanya bermula pada hari Minggu, 20 Desember 2020 lalu. Saya terbangun dengan kepala nyut-nyutan dan badan sakit-sakit. Saya pikir saya masuk angin karena malamnya pasang AC kipasnya di-swing. Jadi saya tetap beraktivitas (di rumah) seperti biasa. Makin siang, kok rasanya makin lemas. Akhirnya saya coba tidur lagi sebentar. Sekitar jam makan siang, badan saya makin nggak enak, setelah dicek ternyata udah 38.6 derajat Celcius! Saya coba minum paracetamol, nggak ada perubahan juga.
Waktu itu saya lagi nginep di rumah orang tua, dan Aksa pun lagi agak rewel. Jadi yasudahlah kami memutuskan untuk pulang, padahal rencananya mau nginep semalam lagi. Karena saking lemasnya, saya minta Mama saya untuk ikut nginep di rumah, karena Umi (pengasuhnya Aksa) kalau weekend libur.
Long story short, demam saya nggak kunjung turun, malah semakin naik walaupun udah minum obat. Puncaknya, jam 4 pagi saya terbangun dengan suhu 40 derajat Celcius. Langsunglah Abang bangunin Mama, dan nyokap ngabarin bokap di rumahnya untuk segera datang. Abang udah siap-siap bawa baju saya dan dia kalau-kalau saya harus dirawat, juga siapin peralatannya Aksa karena mau diungsiin.
This is the most heartbroken moment, sih. Saya ngerasa nggak berdaya banget lihat Aksa bangun pagi-pagi, disuruh main sendiri, lalu dibawain tas dan dibawa eyang-eyangnya pergi di pagi buta. Kalau inget momen itu rasanya masih sediiih. Oh ya, Aksa diungsiin bukan ke rumah orang tua saya, melainkan ke rumah Mamanya Abang. Di rumah Enin (Mamanya Abang), Aksa lebih nyaman karena kenal sama Teteh ART-nya, Umi juga cukup akrab sama dia. Jadi Senin pagi itu Umi disuruh langsung datang ke rumah Enin. Jadi at least Aksa aman bersama Enin dan ada dua bala bantuan.
Setelah urusan Aksa selesai, saya dan Abang berangkat ke IGD. Pilihan terdekat adalah ke RS EMC Sentul. Selama pandemi, saya termasuk orang yang nggak pernah pergi ke mana-mana. Saya kerja dari rumah udah hampir setahun; kehidupan sosial saya juga sekarang cuma terbatas ke rumah keluarga inti aja, entah adik, kakak, atau orang tua. Jadi bener-bener ngerasa nervous banget pergi ke tempat publik, rumah sakit pulak.
Begitu masuk IGD, saya ditanya keluhannya. Setelah saya bilang demam, perawatnya langsung ganti masker N95 😄 Kemudian seperti biasalah saya ditanya keluhan, cek tensi dan suhu. Lalu kata perawatnya, dari ciri-cirinya saya mengalami gejala DBD. Jadi mereka saranin saya untuk cek darah. Yawislah.
Sekitar satu jam nunggu, benarlah hasil cek lab menunjukkan saya positif DBD dan harus dirawat. Perawatnya bilang, saya booking kamar dulu, lalu tes PCR sebelum bisa masuk ruangan. Tapiii ternyata, kamar rawat semua penuh, Saudara-saudara. Jadi percayalah, saat ini semua RS di mana-mana memang penuh. Dan ingatlah kalau Covid-19 bukan satu-satunya penyakit. Jadi, orang yang sakit lain, mau melahirkan, mau operasi, semuanya jadi sama-sama “rebutan” perawatan.
Karena kamar penuh, kami akhirnya minta rujukan ke PMI karena bisa pakai BPJS. Di PMI, lagi-lagi saya masuk IGD dulu sebelum bisa masuk kamar perawatan. Anyway, di sini lebih ‘ngeri’ karena dokternya pakai APD lengkap di IGD. Saya jadi merinding disko juga kan, mana ruangan IGD tertutup dan banyak orang.
Di sini, prosedurnya mirip seperti di EMC. Cuma kalau di PMI, saya diwajibkan rapid test dan rontgen paru-paru. Dan tahukah Anda, bahwa IGD di PMI ini penuhhhh. Hampir tiap jam ada pasien baru datang, dan kanan, kiri dan depan saya penuh sama bed pasien. Sakit dan keluhannya apa, saya nggak tahu. Makanya saya berusaha sebisa mungkin untuk nggak makan minum agar nggak perlu buka masker, nggak pegang apapun selain barang pribadi, dan nggak pakai toilet.
Dari jam 9 pagi di IGD, saya menunggu sampai jam setengah 2 untuk bisa pindah ke kamar rawat. Rasanya pengen nangis, pengen tidur, pengen pulang, kangen anak, semua bercampur jadi satu. Sakit yang dirasain mungkin nggak seberapa ya, tapi cemas dan stresnya itu luar biasa banget. Tapi tentu saya paham bahwa semua RS pasti punya prosedur serupa. Toh ini demi kebaikan bersama.
Sekitar jam setengah 2 siang, akhirnya saya pindah ruangan. Saya sengaja minta ruangan yang sendiri karena lebih aman, dan agar lebih tenang aja istirahatnya. Paviliun tempat saya dirawat nggak se-hectic sewaktu di IGD. Jadi saya lumayan lega juga. Perawatnya juga nggak pakai APD seketat sebagaimana waktu di IGD.
Di ruang rawat, saya cuma boleh dijagain satu pendamping. Dan kalau mau gantian jaga, nggak boleh di dalam RS-nya, harus janjian di luar gedung. Jadi setiap hari biasanya saya didampingi Abang dari pagi sampai sore, malamnya antara ditemenin Mama saya atau Umi. Karena Aksa butuh ayahnya kalau tidur, jadi kalau malam, saya nggak bisa dijagain Abang. Oh ya, dan tentu saja saya nggak boleh ditengokin siapa-siapa. Jadi teman-teman saya cuma bisa ngirimin makanan, atau nganterin sampai depan lobi, lalu diambilin sama yang jaga.
Yang paling bikin sedih tentu aja nggak bisa ketemu Aksa sama sekali T__T
Ini pertama kalinya saya berjauhan lama dari Aksa, selama enam hari lima malam. Bener ya, rasanya kangen anak itu bikin sesek banget. Jadi ngebayangin, apa orang tua saya juga suka merasakan hal yang sama kalau saya lagi berjauhan sama mereka? Huhu jadi sedih lagi.
Selama dirawat, pokoknya saya fokus agar cepat sembuh, cepat pulang, cepat ketemu Aksa. Nggak ada hal-hal lain yang berbeda sih ketika di kamar rawat. Kecuali kalau ada perawat, dokter, atau petugas lain datang, saya wajib pakai masker. Cuci tangan udah jelas makin sering, berkali-kali sampai kulit tangan saya mengelupas wkwkwk.
Di hari Sabtu, 26 Desember, akhirnya saya boleh pulang. Yayyy!! Beneran deh, rasanya bahagia banget. Pulang ke rumah (setelah mandi dan keramas), saya langsung kangen-kangenan dan pelukan sama Aksa. Mungkin dengan cara ini kali ya saya diingatkan sama Allah untuk selalu bersyukur dan ingat pada-Nya. Meskipun saat ini hidup saya cuma di rumah aja dan (like everybody else) menghadapi masa-masa sulit pandemi, setidaknya saya selalu bersama dengan orang-orang yang disayangi, dan kami semua sehat, aman, tentram. I really couldn’t ask for more.
Featured image from here.