Setelah sekian lama, maju-mundur. Akhirnya saya membuat post yang (agak) berkaitan dengan pandemi Covid-19 ini. Saya adalah tipe orang yang cenderung “lebih baik nggak usah diceritakan daripada kepikiran” dan untuk case ini, saya lebih suka me-release stress saya pada orang-orang terdekat secara langsung, bukan menuliskannya. Karena itu tadi, this condition is too stressful for me (and I know, for all people too).
Dan selama masa pandemi ini, yang menjadi hiburan utama saya (ofkors) adalah membaca buku. Saya juga sempat amazed sendiri bahwa dalam lima minggu ke belakang, saya berhasil menyelesaikan 4 buku dan 1 audibook. Mungkin berbagi buku-buku yang saya baca bisa sedikit “menormalkan” keadaan yang nggak normal ini; bahwa banyak hal yang bisa kita lakukan di rumah, daripada terbawa stres dan cemas akan berita-berita Covid-19 di luar sana. Sooo, here we go:
1. Love from A to Z by S. K. Ali
Teman-teman yang tahu saya dan sering baca blog saya bahwa saya suka banget sama diverse books seperti ini haha. Karena… representation matters. Sebelum saya masuk ke review buku ini, saya mau cerita sedikit tentang pentingnya representasi di media. Dulu waktu saya SD tingkat akhir hingga SMP, saya mulai suka nulis-nulis fiksi. Saya udah lupa seperti apa cerita yang saya tulis, namun yang saya ingat adalah, saya selalu membuat karakter saya dengan deksripsi perempuan-perempuan yang sering saya lihat di media: langsing, putih, rambut panjang, populer, berbakat, gitu deh. Latar lokasinya pun harus di Jakarta atau bahkan luar negeri. Padahal jaman dulu tahu aja nggak kayak apaan luar negeri tuh 😂
Saya menyadarinya sekarang kenapa saya dulu menulis cerita dengan karakter dan lokasi seperti itu. Karena saya jarang membaca cerita (terutama novel remaja) atau film-film remaja yang merepresentasikan diri saya: rambut ikal, rambut pendek, kulit berjerawat (hellooo, puberty), jidat lebar, tidak populer, dan tidak tinggal di kota besar. Maka dari itu, sekarang saya sebisa mungkin membaca buku as diverse as possible.
Ok. Balik lagi ke buku Love from A to Z. Buku ini mengisahkan tentang Zayneb, murid SMA yang satu-satunya mengenakan hijab di sekolahnya. Dia mendapatkan skors karena mengkonfrontasi gurunya yang kerap mengeluarkan komentar-komentar Islamophobic di dalam kelas. Dikarenakan Zayneb diskors satu minggu sebelum mulainya spring break, dia meminta orangtuanya untuk mengizinkannya pergi ke Doha duluan untuk menemui tantenya yang tinggal di sana. Jadi sebelumnya Zayneb memang berencana akan liburan dengan ibunya ke Doha selama spring break. Di Doha, Zayneb bertemu a cute guy bernama Adam, yang juga memiliki masalahnya sendiri. Dan tentu saja akhirnya mereka saling suka satu sama lain dengan konflik-konflik khas cerita remaja.
Di balik cerita cinta yang bikin mesem-mesem ini, sebenarnya buku ini punya pesan mendalam tentang isu-isu Islamophobia, cultural appropriation, hate speech, dan konflik horizontal antarras dan agama. So… Four stars from me! ⭐⭐⭐⭐
2. The Mental Load: A Feminist Comic by Emma
Sebenarnya udah lama banget ingin baca buku ini, tapi belum dapat versi paperback-nya, dan ebook-nya pun mayan mahal juga harganya. Untungnya di Scribd saya menemukan audibook-nya, dan saya sangat menikmati buku ini. Ya, walaupun memang pengalamannya beda banget sama kalau baca bukunya langsung, apalagi ini sebenarnya comic book. Jadi pastinya banyak gesture atau ekspresi yang terlewat sama saya saat mendengarkan audiobook-nya.
To be honest, I put too much expectation on this book. Saya terpikat karena pada awalnya buku ini menceritakan tentang mental load (the burden to always remember things, esp. experienced by women). Tapi ternyata bahasan buku ini lebih luas dari itu, bahkan dari satu chapter ke chapter berikutnya terasa ‘loncat’ dengan bahasan isu-isu yang kurang ada bridging-nya.
Terlepas dari itu, saya tetap suka dengan buku ini karena mengangkat isu feminisme dan equality dengan format yang ringan dan mudah dibaca. Three stars from me! ⭐⭐⭐
3. Our Stories, Our Voices, Edited by Amy Reed
Pernah nggak terbayang, your favorite YA author menulis sebuah esai tentang dirinya dan kisah perjalanan hidupnya sendiri? Itulah yang saya rasakan ketika menemukan buku ini. I was so happy T_T Membaca esai-esai dari para penulis YA ini membuat saya somehow lebih mengenal penulis-penulis kece ini. Dan saya jadi memahami latar belakang mereka menulis novel-novel yang mereka terbitkan, yang setidaknya sebagian didasari atas pengalaman pribadi mereka.
Para penulis ini menulis berbagai kisah hidup mereka yang dihadapkan pada berbagai isu: racial profiling, body shaming, sexual harassment, teror dari suatu kelompok tertentu, sampai ujaran-ujaran kebencian karena mereka memiliki warna kulit, agama, atau bentuk tubuh yang berbeda.
Namun, salah satu yang saya highlight dari esai-esai ini adalah, ada dua turning point yang sebagian besar dibahas oleh para YA authors ini: 1) terpilihnya Trump sebagai presiden US pada 2016 dan 2) teror 9/11 pada tahun 2001 silam. Saya bisa merasakan horor yang mereka alami dari dua kejadian ini. Oh ya, sebagian penulis dalam buku ini berasal dari kelompok minoritas. Jadi saya bisa merasakan bagaimana frustrasi mereka akan peristiwa-peristiwa ini, setelah perjuangan bertahun-tahun untuk mendapatkan keadilan. Five stars from me! ⭐⭐⭐⭐⭐
4. Before the Coffee Gets Cold by Toshikazu Kawaguchi
This book surprises me because IT REALLY WAS THAT GOOD. Sampai-sampai saya nggak mau baca buku lain dulu setelah baca buku ini saking bagusnya dan saya masih terbayang-bayang sama isinya yang… wow, painfully heartbreaking.
Buku ini mengisahkan tentang sebuah cafe kecil di Tokyo yang terletak di basement, yang menurut cerita orang-orang, bisa membuat orang time travel. Cafe ini sangat mungil, sampai-sampai hanya memuat 3 meja yang memiliki 2 kursi masing-masing, tanpa jendela dan AC (but unexpectedly so cool), dan memiliki 3 buah grandfather clock, namun hanya satu jam yang menunjukkan waktu sesungguhnya. Karena terletak di basement dan tanpa jendela, sangat sulit membedakan siang dan malam, panas dan hujan, ketika berada dalam cafe ini.
Ada empat cerita yang saling terhubung di novel ini, di mana masing-masing orang memiliki tujuan dan alasannya sendiri hingga ingin time travel. Tapi ternyata, syarat untuk time travel ini tidak mudah. Pertama, mereka harus kembali ke masa kini sebelum kopi yang diminumnya dingin (…before the coffee gets cold :). Kedua, tak peduli mau seberapa keras mereka mencoba, time travel yang mereka lakukan will not change the present… So is there any point of going back in time? Apparently, yes. Five stars from me! ⭐⭐⭐⭐⭐
5. Other Words for Home by Jasmine Warga
Jude terpaksa harus meninggalkan war-torn Syria bersama ibunya, dan meninggalkan kakak laki-laki dan ayahnya di Syria. Jude tidak ingin pergi, apalagi harus meninggalkan sahabatnya, Fatima. Namun, karena keadaan, Jude akhirnya pindah bersama ibunya ke Cincinnati, sebuah kota di Amerika Serikat yang belum pernah didengarnya, untuk tinggal bersama paman dan keluarganya yang sangat “American.”
Jude menyukai film-film Hollywood, terutama film romantic comedy. Dia bisa berbahasa Inggris, belajar dari film-film yang ditontonnya. Namun, pindah ke US tidak semudah menonton film Hollywood. Seketika kemampuannya berbahasa Inggris tidak mencukupi ketika dia dihadapkan oleh lingkungannya yang baru. Di sekolah, Jude ditempatkan di kelas English for Second Language (ESL) bersama teman-temannya yang lain yang baru pindah ke US. Meskipun tahu jawaban dari pertanyaan guru matematikanya, Jude tidak berani menjawab karena tidak tahu bagaimana menyampaikannya dalam bahasa Inggris.
Buku ini menceritakan perjuangan seorang imigran dari kacamata seorang middle grader. Buku ini sangat jujur, mudah dibaca dan dinikmati, bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Four stars from me! ⭐⭐⭐⭐