Setelah beberapa waktu on hold, akhirnya saya dan suami bersepakat untuk melanjutkan proyek membangun rumah pertama kami. Long story short, saya dan Abang akan membangun rumah di atas tanah peninggalan almarhum ayah mertua saya, yang mana juga adalah rumah masa kecil Abang.
And… Life happens. Saya hamil, kemudian kami membeli mobil dengan pertimbangan agar mobilitas saya lebih mudah (cerita lengkap kondisi kehamilan saya di sini), nabung untuk biaya persalinan, dan prioritas lainnya membuat proyek ini sempat terbengkalai.
Akhirnya, bulan Agustus 2018 lalu, kami memulai kembali proyek ini dengan sisa tabungan yang ada. Nekat? Bangeuttt! Tapi kami berharap dana tabungan kami selama dua tahun ke belakang ini cukup untuk membiayai rumah kami sampai berdiri.
Membangun rumah pertama memang susah-susah gampang (padahal bukan dirinya sendiri yang ngebangun ya haha). Jadi perlu perencanaan yang matang dan… Realistis! Ditambah juggling dengan pekerjaan dan mengurus anak, dan belum punya pengalaman sebelumnya, bikin proyek membangun rumah ini kadang suka bikin pusing. Tapi, tentunya bikin hati trenyuh juga, karena tiap kali nengokin rumahnya tuh rasanya nyess, this is gonna be our first home.
Perjalanan membangun rumah ini udah cukup panjang, tapi perjalanan di depan masih lebih panjang…
Mencari Arsitek dengan Arsitag
Siapa yang sudah pernah dengar Arsitag? Kalau yang belum pernah, jadi Arsitag ini adalah semacam marketplace yang mempertemukan arsitek dengan klien. Caranya juga mudah banget (dan GRATIS!). Kita tinggal masukin spesifikasi rumahnya mau seperti apa, di atas tanah seluas apa, dan dengan proyeksi budget berapa. Nanti request kita akan muncul di halaman Arsitag dan akan ada batas waktu di mana para arsitek yang tertarik untuk mengajukan diri.
Nah, waktu itu ternyata lumayan banyak yang tertarik (Alhamdulillah!), baik yang individu maupun perusahaan. Dari sekitar 60-an yang tertarik, tim Arsitag membantu kami untuk mengerucutkannya menjadi 10 aja. Wah lumayan banget ini menghemat waktu! Dari 10 itu, baru deh saya dan Abang riset sendiri, buka-buka portfolio, yang akhirnya kami memilih 3 arsitek teratas.
Setelah itu, tim Arsitag membantu kami untuk kopi darat sama masing-masing arsitek ((kopi darat)) untuk diskusi lebih lanjut. Di tahap ini tim Arsitag masih membantu kami, kliennya, jadi proses diskusi pun dilakukan tiga pihak (klien, arsitek, dan tim Arsitag). Setelah kami memilih, baru deh kesemuanya diserahkan ke kedua belah pihak. Tim Arsitag cukup membantu sampai situ saja. Prosesnya simpel dan benar-benar menyesuaikan dengan selera dan budget masing-masing.
Oh iya, kami akhirnya menggunakan jasa arsitek dari Ashari Architect. Pak Emir Ashari ini orangnya sangat kooperatif. Dari awal kami udah bilang kalau rumah yang kami bangun nggak high-end, tanahnya cuma seuprit, dan masih ada bangunan lama di atas tanah tersebut. Dan tentunya, budget seadanya hahaha. Untungnya Pak Emir was up for the challenge. Dan Alhamdulillah, kami juga cocok sama desain yang ditawarkan.

Menentukan Budget
Haha inilah part yang paling “seru”. Budget untuk membangun rumah tentunya berbeda di setiap kota, dan akan terus naik setiap tahunnya. Sewaktu kami konsultasi, biaya membangun rumah per m2 di Jakarta kira-kira sekitar 4 juta. Itu sudah all in ya, mulai dari material sampai pekerja. Kalau di Bogor sendiri, waktu tanya-tanya sama teman kami yang arsitek, ternyata 4 juta/m2 itu udah mewah banget. Jadi perkiraannya sekitar 3,5 juta. Nah, juga tergantung wilayahnya. Semakin ke pinggir kota, semakin mungkin untuk dapat biaya lebih murah.
Oh iya, cara kami menyiasati biaya bangun rumah agar lebih murah adalah mengubah beberapa material. Untungnya Pak Emir juga cukup inovatif. Misalnya, dibandingkan pakai kerawang untuk aksen, Pak Emir menggantinya pakai bata merah yang disusun bolong-bolong. Kemudian daripada pakai hardwood floor, bisa diganti dengan parquet/vinyl. Jadi lumayan bisa nurunin harga material.



Menabung!
Alhamdulillah, 2 tahun ke belakang ini, saya dan suami bisa nabung dengan sangat ambisius. Meskipun ya seperti yang dibilang di atas, ujung-ujungnya kepakai untuk prioritas lain. This trick works for us, but maybe not for others. Tapi saya dan Abang sepakat, sebisa mungkin nggak pakai pinjaman ke bank. Di saat keluarga kami mulai bertumbuh, kami belum mau membebani diri dengan cicilan ke bank, apalagi jangka panjang. Jadi menabung adalah pilihan utama kami.
Dan apakah kami anti cicilan? Tentu nggak! 50% dana rumah ini memang berasal dari tabungan, 50% sisanya pakai pinjaman kredit lunak. Meskipun memang kami harus ekstra hati-hati dan kenal siapa peminjamnya. Dengan cara ini, meskipun kami punya cicilan, seenggaknya nggak se-kepikiran kalau harus nyicil ke bank.
Membuat Rumah Tumbuh
Dengan dana seadanya, dan dengan keluarga kecil kami yang baru 3 orang, saya dan Abang sepakat kalau rumahnya cukup satu lantai dulu. Kami juga sudah mendiskusikan ini dengan arsitek, kalau nantinya rumah akan tingkat 2. Jadi gambar rancangannya sebenarnya sudah 2 lantai, tapi yang baru dibangun satu lantai. Ini benar-benar membantu kami dari sisi budgeting sih.
Saat membangun rumah, pemborong yang membangun rumah kami juga sudah di-brief terkait rancangan rumah tumbuh ini. Jadi dari sisi fondasi, tiang, dan dinding, semuanya sudah dipersiapkan untuk dua lantai.
Lalu, Sudah Sampai Mana?
Saat ini masih dalam tahap membangun dinding. Mudah-mudahan bentar lagi beratap! Tapi sebenarnya the real challenge adalah saat proses finishing.
Kapan bakal ditempatin? We don’t know yet, hahaha. We’re really taking it slow, dan masih betah juga numpang tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah) :p
Doakan lancar-lancar sampai pindah, ya!
Featured image from here.
wah menarik banget ini infonya. untuk luar jabodetabek kira2 bisa konsul online nggak ya dengan arsitek yang terpilih lewat arsitag?
LikeLike
Kalau kita sudah kontrak dgn arsiteknya tentu bisa mbak. Tp kalau belum terpilih sy krg paham, mgkn bisa dicek di websitenya 🙂
LikeLike
Membangun rumah memang perlu perencanaan matang ya mbak. Saya pun sedang berencana merenovasi rumah, karena bangunan bawaan dari developer yang kualitasnya rendah. Membuat rumah bertumbuh mungkin bisa jadi solusi untuk dana yang mepet ya. Terima kasih sharingnya:)
LikeLike
Sama2 mbak! Semoga informasinya bermanfaat 🙂
LikeLike
Hai Mbak, untuk jasa dari Ashari Architect sudah dengan kontraktor nya kah? dan nilai Rp4 juta/M2 sudah all in dengan fee/jasa arsitek? karena saya browsing di web Ikatan Arsitek Indonesia besar fee +/- 7% dari nilai proyek. Terima kasih, web nya sangat informatif.
LikeLike
Halo mbak, itu terpisah ya. 4jt/m itu murni hanya untuk biaya bangun (material+kontraktor/tukang), di luar jasa arsitek. Itu berdasarkan pengalamanku ya.
LikeLike
halo mbak, salam kenal. gmn hasil nya mbak, apa ada blog nya? saya sedang dealing jg melalui arsitag.
LikeLike
Halo mbak. Beberapa update ada di IG @RumahPakIsmed mbak, tapi memang belum banyak. Sy blm sempat update lagi di blog juga 🙂
LikeLike
Halo mbak,
Kalo boleh tau, untuk proyek rumah ini biaya jasa arsiteknya saja jadi berapa? Saya baca komentar sebelumnya 4jt/m2 hanya untuk kontraktornya. Jasa arsitek terpisah.
LikeLike
Halo mas dodi. Untuk jasa arsitek biasanya tergantung rate arsiteknya. Dulu sy di tahun 2017 sekitar 200rb/m2 x luas bangunan. Bisa lebih rendah atau lebih tinggi ya, tergantung budget kita dan rate arsiteknya.
LikeLike
Thanks kak infonya. Saya sudah pakai arsitag tp di saya sangat mengecewakan sih. Pdhl saya pilih professional yg rekomendasi mrk (masuk top 10% nya mrk jg), tp kerjaan kacau balau dan arsitag nya ga bs bantu apa2 sama skali. Hehe. Yah buat pengalaman aja..
LikeLike
Halo Mba, selama pakai jasa Arsitag apa ada kendala yang cukup serius? Saya berencana pakai jasa tsb tetapi belum banyak testimoni
LikeLike
Halo Mbak, sejauh pengalaman saya tidak ada kok. Mereka sangat kooperatif dan helpful dalam mencarikan arsitek yg tepat bagi kita.
LikeLike