Kurang dari dua minggu lagi, tepatnya sepuluh hari lagi, saya akan melangsungkan pernikahan. Semakin saya sibuk mempersiapkannya, semakin saya merenungkan makna pernikahan itu sendiri.
Meskipun satu kata ‘pernikahan’, tetapi praktik ini banyak jenisnya dengan makna yang berbeda-beda, cara yang berbeda-beda, tujuan yang berbeda-beda, sampai konsekuensi yang berbeda-beda. Sebut saja forced marriage, early marriage, underage marriage, child marriage, same-sex marriage, contracted marriage, hingga satu lagi, kawin gantung (istilah yang sangat lokal, sampai saya nggak tahu padanan bahasa Inggris yang sesuai).
Mungkin kita bisa me-rule out same-sex marriage yang bagi sebagian orang dianggap sebagai praktik yang ‘tidak bisa diterima’. Namun, di samping itu, keseluruhan jenis pernikahan di atas adalah pernikahan hetero yang conform heteronormativitas. Nyatanya, jenis pernikahan itupun tentu tidak dapat diterima, entah karena menyalahi undang-undang sampai prostitusi terselubung berbalut dasar hukum agama yang abu-abu. Lantas, sebegitu pentingkah sebuah status pernikahan di mata masyarakat, meskipun itu berarti harus ada makna yang direduksi hingga konsekuensi yang tidak sedikit?
Saya jadi teringat ketika saya mengasisteni bos saya yang seorang expert gender sedang memberikan training untuk salah satu lembaga non profit internasional. Pada sesi perkenalan, seluruh peserta diminta berdiri dan urutan perkenalan dimulai dari mereka yang memiliki jabatan (mostly di pemerintahan), sudah menikah, dan terakhir masih single. Seperti yang bisa diduga tentu saja seisi kelas riuh rendah, ‘menertawakan’ mereka yang masih single karena mereka masih saja berdiri, seolah ‘dihukum’ di dalam kelas. Kelas ini sengaja diolah sedemikian rupa oleh bos saya agar bisa menjadi simulasi how our society is depicted; how gender and social statuses define who you are. Orang dengan status sudah menikah, apalagi memiliki jabatan, dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan mereka yang masih single, let alone jomblo.
Single vs. Married
Sayangnya status ke-single-an seringkali dijadikan bahan olok-olok atau cemooh bagi banyak orang, apalagi di media sosial. Banyak sekali meme yang beredar yang seolah men-disregard-kan kehadiran para jomblo dan menganggap status jomblo sebagai suatu kehinaan. Bahkan kata ‘jomblo’ itu sendiri seperti mengalami peyorasi: “Single itu prinsip, jomblo itu nasib.”
Ada sebuah tulisan yang saya buat yang belum pernah saya publikasikan, kurang lebih begini kutipannya,
Having children is your mutual agreement with your spouse, not your family’s intervention. I know that feeling, the long for children, the long for grandchildren, but that doesn’t justify others’ intervention.
Memang memiliki anak dalam sebuah rumah tangga adalah kebahagiaan besar. Tapi bukan berarti tidak memiliki anak makes you less happy and less of a family. Terkadang orang beranggapan kalau pasangan yang tidak memiliki anak itu hidupnya kurang lengkap. Tapi, tidak semua orang tidak memiliki anak karena tidak bisa, tapi karena pilihan.
Sama seperti ke-single-an. Banyak di luar sana orang yang memilih untuk tetap single atau menjadi single dulu sebelum settling down dengan alasan yang beragam. Bukan berarti being single makes someone less happy and feels incomplete. To some, perhaps, yes, tapi itu tidak bisa digeneralisir kemudian kita memperlakukan semuanya sama.
Saya juga jadi teringat dengan obrolan dengan rekan kerja saya beberapa waktu lalu. Di kampung halamannya di NTT, cukup banyak perempuan yang memilih tidak menikah hingga mereka tua. Saat ditanya apakah ada tetangga yang menggunjingkan, dia bilang tidak. Di sana tidak ada istilah perawan tua atau anggapan perempuan yang belum menikah itu dianggap tidak laku. Jika dia tidak menikah, ya sudah, itu pilihan dia. Sesimpel itu.
Saya jadi berpikir, apakah karena tradisi masyarakat yang seperti itu makanya angka pernikahan usia anak-anak di wilayah NTT tergolong rendah, terlepas dari masyarakatnya yang miskin? Karena menikah tidak dianggap sebagai salah satu indikator yang menentukan status diterima tidaknya seseorang di mata masyarakat.
Sementara di beberapa wilayah lain yang pernah saya kunjungi, menjadi single, apalagi bagi perempuan, seperti menjadi hukuman sosial. Seperti sebuah desa yang saya datangi sekitar Mei lalu di wilayah Jawa Timur. Menjadi janda lebih tinggi status sosialnya dibandingkan menjadi perawan tua di wilayah sana. Bahkan perempuan berusia 20 tahunan saja sudah dianggap perawan tua, tidak laku, ‘banyak maunya’ jika dia tidak menikah juga.
Ini juga yang menurut saya menjadi sebuah permasalahan: menjadi perempuan dan single lebih berat dibandingkan menjadi laki-laki dan single. Ada sebuah novel young adult yang saya baca judulnya Am I Normal Yet? tulisan Holly Bourne, mengenai seorang anak perempuan yang mengalami mental illness dan mencoba mencari ‘kenormalan’ dalam dirinya. Dalam buku tersebut, Evie sang tokoh utama dengan kedua sahabatnya membuat sebuah perkumpulan bernama ‘The Spinster Club’ sebagai bentuk protes mereka karena begitu negatifnya perempuan yang tidak menikah dan dicap ‘perawan tua’ (spinster), sementara tidak ada istilah serupa yang memandang negatif laki-laki yang tidak menikah. Sama-sama single, tetapi jika itu berlaku untuk jenis kelamin yang berbeda, maka berbeda pula pandangan masyarakat terhadap mereka.
Yes, I’m getting married, dan itu adalah pilihan pribadi saya dan pasangan. Begitupun ketika ada orang yang memilih tidak menikah, atau bahkan memilih tidak berkomitmen dalam bentuk hubungan apapun; itu adalah pilihan pribadinya. Intinya adalah, when or whether someone to get married, when or whether someone to have children, is none of someone else’s business. Marriage is a commitment between two, not an obligation to the society.
Featured image from here.