Gerbong Kereta & Romantisme Jakarta

Beberapa kali ketika saya berangkat kerja pagi-pagi naik kereta, suka ada pikiran yang datang berkelebat, “Orang-orang ini tangguh amat ya. Rumah jauh, tempat kerja jauh, tapi tetep aja dijalanin.”

(Nggak ngaca sama diri sendiri)

Well, untuk roker (rombongan kereta) tujuan stasiun Tanjung Barat seperti saya, saya ini layaknya anak cupu. Istilahnya Bogor – Tanjung Barat/Pasar Minggu mah nggak ada apa-apanya. Masih banyak pejuang-pejuang lainnya yang menempuh perjalanan lebih jauh dari saya, bahkan sudah berangkat sebelum terang.

Saya jadi teringat sama salah satu dosen (pengganti) saya ketika ambil kelas Bahasa Belanda sewaktu kuliah. Salah satu koleganya di Belanda sempet kaget bahwa jarak dari rumah ke kantor rata-rata orang Jakarta bisa sampe 2-3 jam. Artinya 4-6 jam pulang pergi setiap hari. Untuk ukuran orang Belanda, that is unbelievable.

Pertama, iyalah, luas negara Belanda cuman sepersekian dari luas Indonesia. Naik kereta tiga jam mungkin udah sampe negara lain (sniff). Di sini tiga jam adalah naik kereta dari Stasiun Cilebut, nunggu antrean masuk dan keluar stasiun Manggarai, terus turun di Stasiun Sudirman, jadi tribute Hunger Games di halte busway, terus turun di Bundaran Senayan (sad).

Kedua, normalnya jarak kantor di Belanda bisa less than half an hour. Pagi-pagi masih bisa jogging, ngajak jalan-jalan anjing, have a relaxing breakfast. In here? Unless your office is next door, you might not have that privilege.

Dalam hati saya, sebenarnya saya merasa sangat dilema. Di satu sisi saya sadar bahwa saya spend a lot of time traveling to and from the office, which yang dalam jangka waktu 2-3 jam sehari itu bisa saya manfaatkan untuk hal lain. Yoga satu jam, misalnya. Have a conversation with the family during breakfast. Or just an extra hour to finish the work.

Tapi di sisi lain, well, ini mungkin hanya pikiran skeptis saya saja, tetapi mencari peluang kerja di Jakarta memang lebih mudah ketimbang cari kerja di kota sendiri. Sedih sih, tapi (bagi saya) kenyataannya begitu. Bukan hanya itu saja, mungkin juga ada peluang kerja, tetapi bukan pekerjaan yang sesuai dengan expertise dan minat saya.

Sejauh ini, saya enjoy saja dengan apa yang saya lakukan. Mungkin karena sudah terbiasa, jarak Bogor – Jakarta tidak sejauh seperti yang saya rasakan dulu. Bagi orang lain, mungkin tampaknya unbearable, tapi bagi saya dan rekan-rekan komuter, nyatanya kami tetap bertahan.

Sebagai seseorang yang nggak bisa nyetir mobil, kereta adalah satu-satunya moda transportasi andalan saya. Dan saya lebih memilih dempet-dempetan di kereta ketimbang naik bus nyaman tapi macet. Suka kesel sama orang yang maksa naik kereta padahal di dalem udah kayak sarden? Well, I am one of them (hoho). Selama kaki masih bisa berpijak, tidak ada halangan bagi saya untuk tidak ‘maksa’ naik kereta.

Saya jadi ingat dulu waktu masih jadi mahasiswa, gerbong kereta nggak senyaman sekarang. Dulu masih ada pembagian kasta di perkeretaapian: kereta ekonomi, ekonomi AC, sama pakuan. Tiap kali liat kereta pakuan rasanya pengen loncat naik, tapi apa daya keretanya cuman berhenti di stasiun besar. Pahit manis di kereta juga rasanya sudah sering saya rasakan: mulai dari sexual harassment di gerbong padat (and it suuuckeed), gangguan sinyal, lihat ibu-ibu berantem dalem gerbong, kereta bau gosong sampe ngeluarin asep, sampai longsor 2 minggu dan kereta nggak jalan dari Stasiun Bogor pernah saya rasakan.

Pengalaman longsor itu epic sih. Jadi jalur yang longsor terletak antara Bogor-Cilebut di suatu musim hujan (tahun berapa saya lupa). Maka nightmare pun menjadi nyata: semua kereta jalannya dari Bojong Gede. Kebayang kan keosnya kayak apa? Manusia dari kota Bogor ini harus ngungsi dulu semua ke Bojong Gede tiap pagi dan sore hari dan berakibat MACET PARAH. Walhasil daripada telat karena jalanan nggak gerak, saya dan rekan-rekan seperjuangan di angkot memutuskan untuk turun. Terus masuk rel. Terus jalan kaki sampai stasiun. Lagaknya sih udah kayak di film-film action. Tapi kalau dipikir-pikir sekarang, sedih juga sih.

Anyway, seperti yang saya bilang di atas; sekeos apapun, se-suck apapun, segangguan apapun, gerbong kereta adalah sahabat saya yang udah jadi saksi perjuangan saya selama bertahun-tahun. Mulai dari daftar jadi mahasiswa baru, diospek, jadi mahasiswa, sampai lulus dan wisuda, dan sampai sekarang saya sudah bekerja. Saya sudah merasakan pengap dan gelapnya kereta Ekonomi atau keosnya kereta Ekonomi AC karena ber-AC tapi murah, sampai sekarang kereta semua udah bertransformasi menjadi Commuter Line yang lebih nyaman.

Dan semua itu nggak mungkin saya rasakan kalau saya nggak ‘keluar’ dari kota kelahiran saya. Untuk mencari ilmu, mengadu nasib, mencari rezeki, yang semuanya bermuara di Ibukota.

Seumur-umur, saya nggak akan pernah mau tinggal di Jakarta. Tapi biarpun begitu, dia tetap dicinta. Berat memang, tapi toh saya bahagia. Meskipun perjuangannya memang tidak sederhana.

Featured image from here.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s