Di post sebelumnya, saya sempat bilang kalau saya sedikit deg-degan saat mau berangkat sendiri ke Aussie seorang diri. Pertama, nggak ada satupun orang yang saya kenal di bandara maupun di pesawat. Kedua, saya takut nggak ngerti accent Australia. Ketiga, deg-degan juga akan menjadi minoritas di negeri orang karena saya mengenakan jilbab. Hmm, akan seperti apa impresinya ya?
About Australian accent
Waktu kuliah semester pertama (Yes, I was majoring in English Lit), saya sempat dapat materi tentang perbedaan antara American, British, dan Australian English di kelas Listening & Speaking. Entah karena sayanya saja yang bolot atau memang suaranya yang kurang jelas :D, saya paling susah mendengarkan accent Australian English. Trauma gara-gara nggak mudeng di semester satu itulah akhirnya saya jadi agak kurang pede. “Gimana kalau ada orang ngajak ngomong terus cuma bisa bengong?” atau “Gimana kalau ada yang ngomong terus saya nggak nangkap dia ngomong apa?” Pokoknya begitulah kira-kira ketakutannya.
Sampai di bandara di Melbourne, saya kan langsung masuk ke bagian imigrasi. Pas ngasih passport ke petugas imigrasinya, saya tiba-tiba langsung ngerasa lega karena ternyata orangnya baik-baik banget. Kayaknya setiap orang selalu senyum dan bilang “Hi, how are you?” meskipun ketemu orang baru yang bahkan nggak dikenal (e.g. petugas imigrasi ke passenger, kasir ke pelanggan, dll). Tiba-tiba saya merasa nggak takut lagi.
Pas hari kedua, saya datang ke counter Telstra buat beli sim card Australia karena saya (dengan bodohnya) nggak ngaktifin nomor Indonesia selama di sana. Akhirnya saya harus ganti sim card buat ngehubungin keluarga yang di Indonesia. Ditemenin om saya, saya datang ke counter Telstra. Selain petugas imigrasi hari sebelumnya, ini pertama kalinya saya berkomunikasi sama orang sana asli.
The way Australians speak (according to my ears):
“#%&^& of course &**^$#^#&V because ^*&*&%%# okay.”
Saya cuma bisa ngelirik om saya sambil masang tampang bego, “What did he say?” dan (teganya) om saya cuma angkat bahu dan bilang, “I’m not telling you. You have to learn by yourself.” Akhirnya setelah buka telinga lebar-lebar, saya bisa menangkap sedikit-sedikit sama apa yang diomongin. Setelah dikorek-korek, ternyata orang ini merupakan keturunan Afghanistan dan om saya juga mengakui kalau he said way too fast dan dengan aksen yang cukup berbeda juga.
Sore harinya, saya balik lagi ke mal yang sama tempat beli sim card. FYI, mal itu letaknya di seberang jalan rumah om saya, cuma lima menit jalan kaki. Dan dengan sok tahunya, saya jalan-jalan sendiri di sana sampai jam 9 malam (jam tutup toko) muter-muterin semua toko, nyari barang pesanan buat oleh-oleh. Dan setiap saya bayar ke kasir, pasti saja kalimat “Hi, how are you?” itu selalu muncul. Meskipun mungkin hanya sekadar formalitas, tetap saja itu menunjukkan penghargaan dan keramahan mereka. Mungkin faktor itu juga yang bikin saya akhirnya jadi percaya diri.
Hari Minggunya, saya ketemu sama seorang sepupu saya yang kebetulan lagi kuliah Monash. Sudah lumayan lama juga saya nggak ketemu dia, dan dia jemput di rumah om saya buat muter-muter nyari suvenir. Akhirnya sampailah kami di Queen Victoria Market.
About Queen Victoria Market
Queen Victoria Market sudah berdiri semenjak abad ke-19 dan merupakan salah satu pusat perbelanjaan terlengkap dan terpenting di Melbourne. Dengan konsep open air market, datang ke sini rasanya seperti bisa menemukan apapun. Mulai dari groceries (sayur, daging, dan segala jenisnya ada di sini), suvenir, kaos, aksesoris, oleh-oleh, makanan dan minuman, pokoknya segala macam ada. Dan tentunya harganya jauh lebih miring dan (this is the best part) bisa ditawar! Bukan hanya saja areanya yang luas, tapi juga salah satu bangunannya merupakan bangunan klasik khas Inggris yang tetap dipertahankan dan dirawat sampai sekarang. Queen Vic Market adalah salah satu destinasi wajib yang perlu dikunjungi ketika ke Melbourne.
Ketika di sana, saya melihat kaos bagus-bagus dengan harga lumayan miring, akhirnya saya beli untuk oleh-oleh. Pas ngelihat penjualnya, ternyata sesosok mbak-mbak berwajah Asia Tenggara dan berjilbab. Sepupuku sudah nebak kalau dia orang Indonesia. Akhirnya dia ngetes dan bilang, “Are you Indonesian?” dan dia bilang “Iya, saya dari Indonesia.” Langsunglah kami berdua mengeluarkan jurus menawar. Dari rayuan, “35 dollar aja deh, Mbak…” dan “Ah, masa nggak bisa nawar, sih…” sampai mengemis-ngemis “Ayolah, Mbak…”, akhirnya si Mbak tetap keukeuh nggak mau ditawar. Yah, apa boleh buat. Ternyata satu tanah air tidak meluluhkan hati mbaknya 😀
About wearing a headscarf
Dari pertama kali menginjakkan kaki di Australia, saya sama sekali nggak merasa bahwa saya minder pakai jilbab. Padahal saya sama sekali nggak tahu seperti apa pandangan Australians tentang jilbab dan sebelum berangkat pun saya nggak pernah berusaha untuk cari tahu. Dan ternyata setelah datang ke sana, despite me wearing a headscarf, perlakuan mereka ke saya biasa-biasa saja. They treated me like anyone else dan itu yang juga bikin saya respek sama mereka. Apalagi masyarakat Aussie memang sangat heterogen, terutama di Melbourne, yang memang punya banyak penduduk/mahasiswa Indonesia dan imigran dari berbagai negara, salah satunya adalah India yang cukup banyak.
Oh ya, di sana juga saya belajar banyak banget, salah satunya adalah budaya keseharian orang Australia. Di sana rasanya kalau nggak ngomong “thank you“, “excuse me“, dan “please” itu rasanya aku nggak sopan banget. Misalnya, ada waiter ngambilin piring saat sudah selesai makan, langsung ucapkanlah “thank you.” It’s a small gesture but it shows that you respect them.
Di suatu hari, saya mau makan siang di daerah City, dan saya pesan pizza ke salah satu mbak-mbak bule. Dia itu dengan baiknya bilang, “This is your pizza, Darling. Thank you.” sambil senyum superlebar. Seperti yang saya bilang, meskipun sederhana, setiap orang pasti merasa dihargai ketika diucapkan salah satu dari 3 kata sakti itu.
Cerita lainnya adalah, suatu hari saya lagi jalan-jalan di Sovereign Hill di Ballarat, kota yang nggak jauh dari Melbourne. Di Ballarat ini saya nggak sengaja bertemu sama satu keluarga Turki. Nah pas saya lewat, sang ayah keluarga ini nyapa saya dan mengucapkan, “Assalamualaikum.” Saya langsung kaget, ini pertama kalinya saya disapa oleh sesama Muslim. Alhamdulillah senangnya…
Mungkin karena menjadi bagian dari minoritas, setiap ketemu dengan seseorang yang sama-sama pakai jilbab dan sesama Muslim itu rasanya luar biasa sekali. Saya juga sempat bertemu dengan seorang ibu dan anak yang memakai jilbab, dan si anak ini langsung menyapaku dan bilang, “Assalamualaikum, my sister.” dan saya langsung terenyuh.
Setelah pengalaman ini, saya jadi semakin pede menggunakan jilbab sebagai identitas saya. Ke manapun saya pergi, orang-orang bisa langsung mengenali identitas saya tanpa saya harus menjelaskan pada mereka. Dan satu hal yang pasti, kedatangan saya ke Australia mengajarkan saya bahwa I found harmony in heterogeneity. Ketika saya datang, mereka tidak pernah sekalipun mempertanyakan identitas ke-Islam-an saya, jilbab saya, dan agama saya. Apa yang membuat mereka tertarik pada saya adalah studi saya, kehidupan saya di Indonesia, dan kebudayaan Indonesia yang sangat menarik bagi mereka. Wearing a headscarf didn’t make me special nor alienated. I was just treated like anyone else, and I was a part of them.
Read also:
Australia Trip – First Impression
[…] to the 1800s in Sovereign Hill, Ballarat Australia Trip – Summer and Australian Open 2012 Australia Trip – Being A Headscarfed Muslim in Melbourne Australia Trip – First […]
LikeLike
[…] also: Australia Trip – Summer and Australian Open 2012 Australia Trip – Being A Headscarfed Muslim in Melbourne Australia Trip – First […]
LikeLike
[…] also: Australia Trip – Being A Headscarfed Muslim in Melbourne Australia Trip – First […]
LikeLike