Sehari setelah tiba kembali di Makassar, jam setengah 7 pagi, kami semua sudah siap berangkat menuju pelabuhan Kayu Bangkoa untuk menyebrang ke pulau.
Di pelabuhan, kami berkenalan dengan 3 orang temannya Fitria yang bakal menyebrang bareng kami (yang saya lupa siapa saja namanya) demi uang patungan kapal yang lebih murah. Jadi totalnya kami semua menyebrang bersepuluh (bersebelas sama bapaknya).
Suasana dermaga pagi itu ramai banget, terutama oleh penduduk pulau seberang yang ternyata baru tiba di dermaga. Mereka semua merapat untuk berbelanja.
Bagi yang belum tahu, saya ini sebenarnya paling ogah naik kapal. Kapal kayu, kapal ferry, kapal pesiar (mau sih kalo dibayarin, haha), apapun jenis kapalnya, makasih deh. Apalagi kapal kayu begini, mana nggak pake life jacket lagi. Parno lah saya. Tapi kata orang, ketakutan itu harus dihadapi! Maka saya pun melangkah naik kapal. Untungnya, nggak kenapa-kenapa sih, haha 🙂
Perjalanan pertama yang kami tempuh adalah menuju pulau Samalona. Samalona ini adalah sebuah pulau kecil yang terletak di Selat Makassar, kurang lebih 30 menit dari kota. Pulau ini berpenduduk dan mata pencaharian utama penduduknya berasal dari sektor pariwisata. Pertama sampai di Samalona kami cuma “mampir” untuk menyewa life jacket dan alat snorkeling untuk ketiga temannya Fit yang bakal snorkeling di pulau Kodingareng Keke. Sementara saya sama teman-teman yang lain, karena sudah puas snorkeling saat di Bira, memang berniat cuma mau foto-foto cantik selama berada di pulau.
Dari Samalona, kami lanjut ke pulau Kodingareng Keke, yaitu pulau tidak berpenghuni yang jarak tempuhnya kurang-lebih 30 menit juga dari Samalona. Jadi kalau dari Makassar sekitar 1 jam pakai perahu mesin. Pulau ini adalah pulau tidak berpenghuni yang luasnya hanya ada dua kali lapangan bola.
Sesampainya di sana, kami bertemu dengan bapak-bapak yang bertugas ngejaga kebersihan pulau tersebut. Dan surprisingly, ada 3 ekor kucing yang entah dari mana asalnya bisa terdampar di pulau itu. Saya sih curiga mereka kucing-kucing yang dibuang. Dan mirisnya, saat saya sedang di tepi pantai, saya menemukan sebuah bangkai kucing yang tersapu air laut. Sedih banget rasanya ngelihat kucing-kucing nggak berdosa itu harus bertahan hidup di pulau tidak berpenghuni tanpa pasokan makanan apapun 😦
Kodingareng Keke facts
- Pulau ini ternyata dikekola pemerintah dan disewakan ke pihak asing.
- Dulu sempat ada bangunan di pulau ini, tapi hancur karena cuaca.
- Luas pulau Kodingareng Keke sedikit demi sedikit mengecil karena bagian daratannya yang tersapu air laut.
- Satu sisi pulau ini dipasangi pagar untuk menghalau air pasang naik sampai ke permukaan.
Setelah dari Kodingareng Keke, kami balik lagi ke Samalona. Tapi di sini kami nggak foto-foto karena panas menyengat yang totalitas. Sementara teman-temannya Fit dan Fit-nya sendiri masih asyik snorkeling di dekat mercusuar. Sejujurnya, setibanya di Samalona, saya agak sedikit kecewa dari apa yang sempat terbayangkan. Pertama, karena harga sewa bale-bale luar biasa muahaaal! Harga es kelapa muda juga mahal, tapi pisang gorengnya lumayan enak, sih *mureh*.
Kedua, teman saya yang mau ke toilet diminta untuk bayar 5 ribu dan dicerewetin sama salah seorang ibu-ibu setempat. Katanya, sih, wajar mahal karena pasokan air tawarnya susah. Mau cari bahan makanan juga harus menyebrang, jadi kami diminta maklum. Dan pengalaman lainnya adalah, karena sebelum teman saya pergi ke toilet, saya sudah ke toilet duluan, menumpang di rumah penduduk dan nggak diminta bayaran. Pas teman saya bilang ke ibu-ibu tersebut, “Tapi teman saya tadi ke toilet nggak bayar,” ibu-ibu itu langsung bilang, “Nggak bayar?! Mana? Mana temen kamu yang nggak bayar? Di sini semua harus bayar!”
Tapi pemirsa, menurut pembelaan saya, saya nggak bayar karena sebenarnya saya sudah menyiapkan uang di kantong. Saat saya keluar toilet, nggak ada siapa-siapa. Saya jadi bingung harus bayar ke mana. Sementara rumahnya kosong dan penduduknya malah lagi asik nongkrong di rumah sebelah. Maafkan saya, ya, penduduk Samalona.
Samalona facts
- Sama seperti Kodingareng Keke, luas pulau ini juga semakin lama semakin kecil.
- Kalau pengunjung mau bermalam di sini, bisa menginap di rumah penduduk setempat atau menyewa guest house sederhana.
- Dermaga pulau ini rubuh dan hanyut ke tengah laut.
Selesai nyebrang, kami mampir di Kampoeng Popsa, menemani para rombongan snorkeling berbilas. Kampoeng Popsa ini semacam food court, hanya saja tempatnya enak banget karena di bagian belakangnya dilapisi kaca transparan yang pemandangannya langsung laut lepas.
Dari Popsa, kami langsung lanjut wisata kuliner dengan menjajal mie titi dan es pisang ijo di sekitaran pantai Losari. Sorenya juga kami sempat mengunjungi masjid Amirul Mukminin atau yang terkenal dengan masjid terapung karena fondasinya berada di bawah laut.
Saat matahari terbenam, kami akhirnya memutuskan untuk pulang. Today was tiring and already long enough. Keesokan harinya, kami sudah harus pergi meninggalkan Makassar. Hiks.
Sampai jumpa di post selanjutnya!
[…] paginya kami harus sudah siap untuk kembali menyebrang ke pulau! Lanjutan ceritanya bisa dibaca di sini, […]
LikeLike